“Misteri” Tertunda-tundanya Sidang Paripurna DPRD DKI Itu pun Terungkap



M Sanusi Ditangkap KPK
Saat meresmikan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak ( RPTRA ) NKRI RW 12, di Jalan Kelapa Lilin, Kelurahan Pegangsaan 2, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Ahok berbicara tentang penangkapan Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI, M Sanusi oleh KPK (1/4/2016).
“Sekarang saya senang KPK tangkap, ada apa DPRD menunda-nunda paripurna (Raperda Zonasi)? Apa politik? Enggak tahunya ada pemerasan berarti,” kata Ahok.
Dari berita-berita terdahulu mengenai sidang paripurna DPRD DKI tentang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (ZWP3K); dan Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta itu, ternyata memang telah terjadi beberapakali penundaan sidang tersebut dengan alasan kuorum tidak mencukupi.
Penundaan pertama terjadi pada Senin, 22 Februari 2016, dikarenakan sebagian besar, atau 56 dari 106 anggota DPRD DKI tidak hadir. Acara sidang dijadwalkan mulai pukul 14.00, tetapi sampai dengan pukul 16.30, tidak ada penambahan anggota yang datang, sehingga sidang pun terpaksa dibatalkan karena tidak kuorum.
Untuk mencapai kuorum, minimal harus hadir 2/3 dari seluruh anggota DPRD DKI (106), atau 71 anggota.
Padahal, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok beserta para stafnya dari Pemprov DKI Jakarta, sudah menunggu di ruang VIP DPRD DKi sejak sebelum pukul 14.00. Sampai pukul 16.30 protokoler pun mengumumkan sidang paripurna ditunda, diganti dengan tanggal 25 Februari 2016.
Pada Kamis, 25 Februari, sidang paripurna untuk membahas Raperda Zonasi itu dibatalkan, sebelum dimulai. Kali ini alasannya tidak jelas.
Kebetulan pada hari itu juga bertepatan dengan jadwal pemanggilan Bareskrim Polri terhadap Ahok sebagai saksi dalam kasus korupsi UPS dengan tersangka mantan Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat Alex Usman, Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Suku Dinas Pendidikan Jakarta Menengah Jakarta Pusat Zaenal Soleman, serta dua anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, M Firmansyah dan Fahmi Zulfikar.
Ahok memenuhi panggilan tersebut pada hari itu juga. Dia mulai didengar keterangannya sebagai saksi di Bareskrim Polri dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 10.45.
Dari Bareskrim Polri, Ahok kembali ke kantornya di Balai Kota. Siap-siap menuju ke Gedung DPRD DKI untuk mengikuti sidang paripurna Raperda Zonasi yang dijadwalkan pukul 14.00 itu. Ahok mengaku, sudah berganti jas, tetapi datang kabar dari Gedung DPRD DKI, sidang dibatalkan.
Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi juga tidak memberi penjelasan kepada sidang paripurna hari itu dibatalkan, yang pasti, menurutnya, bukan karena hari itu Ahok dipanggil Bareskrim Polri.
Memang kalau itu alasannya, pasti itu alasan yang dicari-cari. Karena Ahok hanya ada di Bareskrim Polri sampai dengan pukul 10:45, dan langsung kembali ke Balai Kota.
Alasan pembatalan sidang paripurna itu baru dijelaskan oleh Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik pada 1 Maret 2016, alasannya adalah ada dua pasal dari Raperda Zonasi tersebut yang harus dibahas ulang lagi, karena ternyata ada perubahan.
Diketahui bahwa dua pasal yang dimaksud adalah pasal mengenai perizinan, dan mengenai kontribusi yang wajib dipenuhi pengembang reklamasi. Kedua pasal itulah yang alot diperdebatkan antara pihak Ahok (Pemprov DKI) dengan DPR DKI.
Yang pertama adalah Pasal Perizinan, diatur di Pasal 103 Raperda. Pemprov DKI telah menetapkan bahwa izin pemanfataan ruang dan pelaksanaan reklamasi harus dari Gubernur, sedangkan DPRD DKI menghendaki Raperda Tata Ruang hanya mengatur pemanfaatan tata ruang, bukan pelaksanaan. Perdebatan tersebut berakhir dengan terjadi kata sepakat bahwa izin pemanfatan ruang dan pelaksanaan reklamasi harus dari Gubernur.
Yang kedua, Pasal 111, yang mengatur tentang kontribusi (tambahan). Dari Pemprov DKI menentukan tambahan konstribusi sebesar 15 persen x NJOP x luas lahan yang dijual. Sedangkan DPRD DKI menghendaki tambahan kontribusi adalah kontribusi yang dapat diambil denganmengkonversi dari kontribusi (5 persen) yang diatur dengan perjanjian kerjasama antara Gubernur dengan pengembang.
Untuk ketentuan ini tidak ada kata sepakat antara Pemprov DKI dengan DPRD DKI. Keduanya bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing.
Berkaitan dengan ketentuan inilah yang diduga kemudian menjadi masalah besar dengan tertangkap tangannya Ketua Komisi D DPRD DKI, Mohammad Sanusi, yang juga Ketua Fraksi Partai Gerindra, pada 31 Maret malam lalu. Diduga penurunan kontribusi menjadi 5 persen itu merupakan pesanan dari pihak pengembang yaitu PT Agung Podomoro Land (APL), yang diakomodasi oleh Mohammad Sanusi dan kawan-kawan.
Disebut “dan kawan-kawan”, karena dapat dipastikan bukan hanya M Sanusi, tetapi juga beberapa koleganya di DPRD DKI yang ikut terlibat di dalam kasus ini.
Bahkan jika disimak dari penjelasan Ahok, pada 2 April 2016, yang mengatakan bahwa selama pembahasan Raperda itu beberapakali Sekretaris Daerah membisikinya bahwa ada pesan dari Badan Legislasi DPRD DKI agar Ahok setuju dengan angka kontribusi tambahan yang 5 persen itu., dengan ancaman jika tidak disetujui DPRD DKI tidak akan mengesahkan Raperda tersebut.
Menurut Ahok, ia dengan tegas menolak permintaan tersebut, meskipun ada ancaman DPRD DKI yang tidak akan mengesahkan Raperda itu.
Dan, Ketua Badan Legislasi DPRD DKI itu bukan lain adalah Mohammad Taufik, kakak kandung dari Mohammad Sanusi. Jadi, patut diduga Taufik punya peran penting dalam pengusulan penurunan angka kontribusi 5 persen itu, yang bisa jadi juga merupakan pesanan dari pihak APL.
Hal ini sesuai dengan keterangan Kepala Badan Perencana Pembagunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuty Kusumawati. Tuty menuturkan, Taufik menyampaikannya dalam rapat antara jajaran Pemerintah Provinsi dan Badan Legislasi Daerah DPRD pada Selasa (8/3/2016).
Dalam rapat itu, Tuty menyebut Taufik sempat menyampaikan kertas berisi rumus hitung-hitungan alasan DPRD mengajukan penurunan kewajiban pengembang dari 15 persen menjadi 5 persen.
Itulah sebabnya, setelah M Sanusi ditangkap, KPK lalu menyegel, kemudian menggeladah juga ruang kerja M Taufik, selain Ruang Perundang-undangan, ruang CCTV, dan ruang kerja Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi.
Kenapa ruang kerja Prasetyo juga digeledah KPK?
Mungkin karena posisinya sebagai Ketua DPRD DKI, yang sepertinya dengan sengaja tidak menjalankan tanggung jawabnya untuk mencegah terjadinya penundaan sidang karena masalah kuorum sampai tiga kali itu, sehingga KPK pun mencurigainya juga.
**
Setelah pihak DPRD DKI melakukan sidang internalnya, pada 10 dan 14 Maret 2016, diputuskan sidang paripurna Raperda Zonasi itu diadakan pada Kamis, 17 Maret 2016.
Ternyata, pada 17 Maret itu, sidang paripurna itu kembali ditunda, lagi-lagi dengan alasan tidak memenuhi kuorum.
Kali ini yang hadir cuma 50 anggota. Anggota dari Fraksi Partai Demokrat, PAN, dan PPP bahkan tidak hadir satu orang pun. Sebagian besar yang absen itu menulis alasannya di daftar absen: “Izin.”
Saat itu penjadwalan ulang sidang paripurna tersebut belum diumumkan, karena masih harus menunggu sidang Badan Musyawarah (Bamus) DPRD DKI. Bamus inilah yang berwenang menentukan jadwal sidang paripurna itu.
Dari fakta dan kronologis yang saya beberkan tersebut terlihat bahwa penundaan berkali-kali oleh DPRD DKI itu memang sangat mencurigakan, alias patut diduga memang disengaja sebagai bagian dari suatu skenario konspirasi.
Dengan tertundanya sidang paripurna pada 17 Maret tersebut, berarti telah terjadi dua kali penundaan sidang karena tidak kuorum.
Pertama, tanggal 22 Februari, dan yang kedua 17 Maret. Yang 25 Februari tidak dihitung, karena dibatalkan sebelum sidang dimulai.
Berarti DPRD DKI tinggal punya satu kesempatan lagi untuk mengadakan sidang paripurna dengan agenda pengesahan kedua Raperda tersebut. Jika pada sidang paripurna ketiga itu, juga tidak mencapai kuorum, maka otomatis pembahasan tentang Raperda tersebut tidak bisa lagi dilanjutkan lagi. Harus dimulai dari awal lagi, kembali ke tingkat Komisi.
Ketentuan tersebut diatur di Tata Tertib DPRD DKI Nomor 1 Tahun 2014, Pasal 4, Ayat 90, yang berbunyi:
Apabila pada akhir waktu penundaan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat 3 kourum belum juga terpenuhi, pemimpin sidang dapat menunda paling lama tiga hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah.
Dan, Pasal 5-nya, yang berbunyi:
Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 kourom sebagaimana dimaksud pada ayat satu belum juga terpenuhi, maka untuk pelaksaan hak angket dan hak menyatakan pendapat menetapkan peraturan daerah serta memberhentikan pemimpinan DPRD sidang tidak dapat mengambil keputusan dan sidang paripurna DPRD tidak dapat diulang lagi.
Diduga kuat tertunda-tundanya sidang paripurna Raperda tersebut ada kaitannya dengan sedang berlangsungnya perundingan antara pihak PT Agung Podomoro Land (APL) dengan pihak M Sanusi.
Dengan hanya tersisanya satu kali kesempatan sidang paripurna Raperda Zonasi dengan ancaman tidak kuorum lagi itu, membuat pihak APL panik. Jika sampai sidang yang ketiga itu juga tidak mencapai kuorum, maka semua pembahasannya dibatalkan, kembali lagi dari awal, mulai dari tingkat Komisi lagi. Akan semakin banyak waktu yang terbuang percuma, padahal setiap waktu adalah uang besar bagi APL.
Oleh karena itu mereka pun semakin intens menghubungi M Sanusi yang diduga mewakili kawan-kawannya di DPRD DKI, agar bagaimana caranya diupayakan semaksimal mungkin, jangan sampai sidang paripurna itu ditunda lagi, dan ketentuian tentang kewajiban kontribusi itu ditetapkan 5 persen.
Tentu saja semua itu tidak gratis, dan tidak murah, serta juga dibutuhkan M Sanusi dan kawan-kawannya itu, apalagi sejak Ahok menutup sumber utama penghasilan mereka dari pengadaan proyek-proyek siluman sejenis UPS itu.
Mereka tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka sudah dipantau KPK.
Sampai pada 31 Maret malam, di sebuah mall di Jakarta, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) ketika utusan dari APL, Trisnanda Prihantoro, menyerahkan sejumlah uang kepada M Sanusi. KPK pun bergerak cepat, setelah memeriksa dengan intensif M Sanusi, KPK pun menetapkan Presiden Direktur PT APL, Ariesman Widjaja, sebagai tersangka. Aries pun masuk tahanan KPK menyusul Sanusi.
Setelah M Sanusi, apakah giliran M taufik yang akan menyusul adiknya itu di tahanan KPK? Seperti yang dikatakan Ketua KPK, Agus Rahardjo, kemungkinan terbuka lebar akan terungkap pula keterlibatan anggota-anggota DPRD DKI lainnya. Jadi, kemungkinan itu bukan hanya pada M Taufik saja. Apakah termasuk Prabowo Soenirman? Siapa lagi yang lain?
**
Modus kongkalikong antara pengusaha dengan DPRD seperti yang terbongkar di DPRD DKI Jakarta ini sebetulnya sudah lama menjadi rahasia umum. Bukan hanya di DKI Jakarta saja, tetapi juga di hampir semua – kalau tidak mau mengatakan semua — daerah di Indonesia, hanya saja belum terungkap.
Coba Anda mencarinya dengan mengetik kata kunci “rapat paripurna DPRD ditunda”, maka Anda akanmendapat banyak sekali berita tentang tertunda-tundanya rapat paripurna di banyak sekali daerah di Indonesia.
Itu merupakan indikasi ada apa-apa di baliknya, sama dengan yang sudah terungkap di DPRD DKI Jakarta itu. ****
Penulis: Kompasianer Daniel HT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesabaraan pemuda batak sedang di uji ormas radikal, pemuda batak bersatu melawan perusak tatanan budaya batak.

Resmi!! Megawati Sudah Putuskan PDIP Dukung Ahok

Ketika Jokowi ‘Gila’ dan Ahok ‘Bajingan’, Skenario Singapura atas Indonesia Gagal