gadis keturunan Tionghoa jebolan Cambridge University yang rela bekerja di Balaikota tanpa di gaji membantu Ahok ini



Melvany Kasih, Gadis Keturunan Tionghoa Yang Lebih Nasionalis Ketimbang Wakil Rakyat !

Contoh Nasionalisme Melvany Angelica Kasih, gadis keturunan Tionghoa jebolan Cambridge University yang rela bekerja di Balaikota tanpa di gaji membantu Ahok ini, seharusnya membuat malu mereka yang mengaku wakil rakyat di DPRD DKI Jakarta – Jakarta Media News Online.

“Dia yang sendiri datang ke Balaikota, ingin membantu, bahkan tanpa gaji,” ujar Ahok di KBRI Singapura pada Senin kemarin (19/10), seperti dilansir oleh Kompas.

Ketika itu, Gubernur DKI Jakarta tersebut tengah berbicara pada acara “Bincang 1 Jam Bersama Ahok,” yang mengajak para professional asal Indonesia yang bekerja di Singapura untuk kembali ke Indonesia bekerja bersama-sama membangun DKI Jakarta.

Cerita Ahok mengenai sosok professional muda, Melvany Kasih, gadis keturunan Tionghoa jebolan Cambridge University dan Cornell University yang mau bekerja di Balaikota membantunya sebagai salah satu staf khusus Gubernur ini meluncur begitu saja

– Ketika Ahok mendapatkan pertanyaan moderator, “Bagaimana Bapak akan merangkul kami profesional ini mengingat sebenarnya kami sudah sejahtera di Singapura.”

Sebagai ilustrasi, menurut polling cepat, Global Indonesian Voices (GIV) pada acara tersebut, para professional asal Indonesia yang bekerja di Singapura, rata-rata mau kembali bekerja pulang ke tanah air, jika mendapatkan gaji minimal sekitar 6.000 dollar Singapura, atau sekitar Rp 60 juta.

Ahok hanya tertawa menjawab pertanyaan itu, menurut Ahok, gaji Rp 60 juta masih terlalu kecil, sebab menurutnya staf PNS di Balaikota DKI Jakarta yang paling rendah saja dihaji Rp 12 juta, apalagi professional lulusan luar negeri – Namun menurut Gubernur DKI Jakarta tersebut, “Yang penting hati Anda, bukan hanya kepintaran atau uang. Itu sebabnya malam ini saya datang mengajak profesional di Singapura, mari pulang,” ujar Ahok.

Penuturan Ahok ini memang ironis, pasalnya professional muda seperti Melvany Kasih, yang pernah bekerja di McKinsey & Company, suatu perusahan global manajemen konsultan terkemuka di dunia ini, tentunya sudah mendapatkan gaji yang aduhai.

Bahkan mungkin bisa mencapai angka diatas Rp 100 jt – Namun mengapa ia mau saja membantu sebagai staf khusus Ahok secara sukarela, dan bahkan menolak untuk di gaji besar, seperti yang ditawarkan oleh Ahok.

Ini lain lagi soalnya, karena menurut penuturan Ahok, “Saya pun kaget. Ya saya tawari gaji besar, dia enggak mau. Ya, akhirnya saya kasihlah ongkos, minimal bisa pulang taksi, ha-ha-ha,” ujarnya sambil tertawa.

Ini persoalan lain, ini adalah masalah nasionalisme dan kecintaannya yang besar terhadap tanah air, untuk membantu Ahok, membangun Jakarta.

Jangankan dibandingkan dengan kisah Melvany Kasih, professional muda yang mau bekerja sukarela hanya dibayar senilai ongkos taksi saja oleh Ahok –

Disinilah poinnya, nasionalisme tidak diukur berdasarkan ras, keturunan atau agama tertentu, namun terletak pada hati dan kecintaan masing-masing individu terhadap bangsa dan negaranya, seperti kata Ahok,

Coba kita bandingkan dengan logika sehat, berapa pendapatan para professional dibandingkan dengan anggota DPRD ?
Anggota DPRD DKI Jakarta, rata-rata mendapatkan gaji dan tunjangan pokok berkisar Rp 35 juta, ini belum termasuk tunjangan fasilitas mobil dinas, uang rapat, uang kunjungan kerja dll yang nilainya bahkan mungkin lebih besar dari gaji dan tunjangan pokok mereka yang Rp 35 jt plus pensiun seumur hidup !

Padahal mereka bekerja hanya dalam periode 5 tahun saja, itupun jika tidak terkena pergantian antar waktu !

Jadi total jenderal, seorang anggota DPRD akan mendapatkan penghasilan lebih dari Rp 65 juta, belum termasuk tunjuangan pensiun. Namun apa saja kontribusi mereka yang mengaku sebagai wakil rakyat ini terhadap DKI Jakarta ?

Dan hebatnya lagi para wakil rakyat tersebut bisa bekerja dan hadir seenaknya, bahkan nyaris tanpa kontrol, karena secara hirarki organisasi, anggota DPRD memang tidak mempunyai atasan yang mengawasi kinerja mereka setiap hari. Mereka hanya mempunyai atasan di partai politik masing-masing yang mengusung mereka.

Dan yang lebih memalukan lagi, sudah digaji tinggi, tidak ada yang mengawasi, eh, masih banyak pula yang melakukan perbuatan hina dan tercela dengan korupsi, alias merampok uang pajak rakyat.

Sementara para professional harus bekerja keras dan berpikir mati-matian dibawah pressure tinggi bos dan perusahaan, yang setiap saat bisa menendang mereka kalau tidak becus. Padahal pendapatan mereka kurang lebih, SAMA !

Ini artinya ada kesalahan pada persepsi dalam sistem negara demokrasi, bahwa anggota DPR atau DPRD dianggap sebagai wakil rakyat, bukan pekerja professional !

Maka sepantasnya persepsi ini harus mulai kita rubah, dengan merubah sistem mekanisme kontrol bagi para anggota dewan, dan menganggap mereka sama seperti para pekerja professional lainnya

– Ini artinya, jika mereka tidak becus menjalankan tugasnya, mereka juga harus segera di depak keluar, sama seperti para pekerja professional lainnya !

Sumber:jakarta-media[truncated by WhatsApp]

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1176494345695179&id=100000038742777

Komentar

  1. Mantap Pak Ahok. Bubarin aja tuh DPR/DPRD. GAJI jelas KERJA ga Ada yg JELAS. Banyak BACOT tp KERJA NOL BESAR.

    BalasHapus
  2. Setujuuuuu... mnjd bangsa yang besar, perlu pengorbanan.pertanyaannya selanjutnya adl. SIAPKAH KITA?

    BalasHapus
  3. Saya turut berbahagia, semoga ketulusan atas dasar cinta kepada Bangsa dan Negara akan menjadi benih yang ditabur hari ini dan dituai pada saatnya nanti.
    Tuhan Memberkati...

    BalasHapus
  4. Gaji besar silahkan.. Tpi sesuai dengn kinerja nya.. Jangn makan gaji buta

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesabaraan pemuda batak sedang di uji ormas radikal, pemuda batak bersatu melawan perusak tatanan budaya batak.

Resmi!! Megawati Sudah Putuskan PDIP Dukung Ahok

Ketika Jokowi ‘Gila’ dan Ahok ‘Bajingan’, Skenario Singapura atas Indonesia Gagal