Inilah Salah Satu Penyebab Haji Lulung cs Ingin Singkirkan Ahok dari Kursi DKI 1



TOP news - Kontrak pengelolaan perparkiraan antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Putraja Perkasa di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, berakhir pada 31 Maret 2016. Itulah kesempatan bagi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk menghentikan kerjasama antara Pemprov DKI dengan perusahaan swasta milik Haji Lulung tersebut. Meskipun sudah mengetahui adanya ketidakberesan dalam pengelolaan perpakiran di TIM itu Ahok tidak bisa berbuat banyak karena kontrak masih berjalan, tetapi begitu kontrak tersebut berakhir, Ahok pun memutuskan kontrak yang sudah berlangsung sejak 2005 itu tidak diperpanjang lagi. Ketidakberesan yang dimaksud adalah terlalu kecilnya setoran pendapatan parkir yang disetor Putraja ke Kas Pemprov DKI Jakarta, padahal jumlah kendaraan bermotor yang parkir di sana setiap hari tergolong sangat banyak. Lebih-lebih lagi menurut hasil investigasi Dinas Perhubungan DKI dan dari laporan masyarakat, diketahui di sana sudah sejak lama dipraktekkan pungutan parkir berganda yang dilakukan pihak Putraja. Ketika kendaaran bermotor masuk, uang parkir sudah dipungut, saat hendak keluar, uang parkir diminta lagi. Menurut Staf Humas UPT Perparkiran Dishubtrans DKI, Ivan Valentino, besaran pungutan liar itu berkisar antara Rp. 5.000 hingga Rp. 10.000 per kendaraan. Sejak 1 Mei 2016 dan seterusnya, pengelolaan parkir di TIM sudah dikelola oleh Pemprov DKI sendiri, persisnya oleh Unit Pelaksana Teknis Perparkiran Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) Pemprov DKI Jakarta. Setelah diambil alih, proses parkir di TIM jauh jadi lebih tersistem. Di pintu masuk, fungsi petugas tiket digantikan mesin. Sementara itu, di pintu keluar, ada penjagaan oleh pegawai Dishub DKI Jakarta, baik di loket motor maupun mobil. Dishubtrans menerapkan tarif parkir sesuai dengan Pergub 179 Tahun 2013 tentang Tarif Pelayanan Parkir. Untuk mobil, satu jam pertama adalah Rp 4.000. Setiap jam berikutnya Rp 2.000. Tarif untuk sepeda motor adalah Rp 2.000 untuk satu jam pertama dan Rp 1.000 untuk setiap jam selanjutnya. Tarif parkir bus atau truk Rp 6.000 untuk jam pertama dan Rp 3.000 untuk setiap jam selanjutnya. Dalam tempo empat hari saja setelah diambil alih Dishubtrans DKI, langsung terlihat perbedaan yang luar biasa jumlah pendapatan parkir di sana; antara saat masih dikelola oleh Putraja dengan dikelola oleh Dishubtrans DKI. "Dulu waktu dikelola swasta sebulannya Rp 47 juta, tetapi saat kita ambil alih, baru empat hari saja sudah lebih dari segitu," kata Andri Yansyah, Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta, Kamis (12/5/2016). Menurut Andri, pihaknya akan terus menjajaki lokasi lain yang parkirnya dikelola swasta untuk diambil alih pengelolaannya. Dengan demikian, retribusi dari tempat parkir tersebut bisa menambah ‎pendapatan daerah. "Kita kan juga diminta kelola parkiran RSUD, pasar, dan kantor wali kota. Semuanya akan dikelola secara bertahap," ujarnya (sumber). Dari kenyataan ini kita bisa memperkirakan berapa besar jumlah uang parkir yang bocor selama dikelola oleh Putraja tersebut, sedangkan perusahaan tersebut sudah mulai mengelola perparkiran di sana sejak 2005. Bocor bagi Pemprov DKI Jakarta, tetapi tentu rezeki bagi pihak Putraja. Sejak 2005 hingga diakhirinya kontrak pengelolaan parkir pada 31 Maret 2016 itu, entah berapa besar keuntungan yang telah diperoleh oleh perusahaan milik Haji Lulung itu. Itu baru di satu lokasi saja, dan itu baru pada satu jenis usaha saja. Masih banyak lokasi, dan masih banyak jenis usaha swasta yang dalam kontrak kerjasama dengan pemprov DKI Jakarta, sebelumnya era gubernur Jokowi/Ahok, terjadi bocoran seperti ini. Bocor bagi Pemprov DKI, rezeki besar bagi rekanan Pemprov DKI, dan oknum-oknum yang ada di eksekutif, maupun legislatif. Sebelumnya, dari pemberitaan media pada Agustus 2015, diketahui pula betapa besarnya perbedaan jumlah pendapatan parkir pinggir jalan (on street) antara saat belum diambil-alih sepenuh oleh Pemprov DKI Jakarta dengan setelahnya.  Sejak Ahok memutuskan menggantikan sistem parkir pinggir jalan dengan sitem meteran, pendapatan parkir di lokasi-lokasi  itu melonjak sangat tinggi, sedangkan bocorannya menurun drastis.  Dari data ketika itu saja, sebagai contoh, di Jalan H Agus Salim diperoleh pendapatan parkir Rp. 13 juta per hari, sebelumnya hanya Rp. 500.000 per hari. Di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, Rp. 12 juta per hari, sebelumnya hanya Rp. 500.000 per hari. Di Jalan Falatehan, Jakarta Selatan, Rp 7 juta per hari, dari sebelumnya Rp 280.000. Yang paling mencenggangkan, di Jalan Boelevard Kelapa Gading, Rp 40 juta per hari, sebelumnya cuma Rp. 470.000 per hari.  Padahal, saat itu, meteran parkir di sana belum terpasang seluruhnya. PT Putraja Perkasa sudah lama dikenal sebagai perusahaan milik Haji Lulung, yang diantaranya menguasai beberapa lahan parkir di DKI Jakarta, seperti di Tanah Abang, dengan cara dan sistem yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akuntabel, sehingga sangat merugikan pemprov DKI, sebaliknya rezeki bagi Putraja, tetapi selama itu pula dibiarkan terus terjadi oleh gubernur-gubernur sebelumnya, karena berlakunya sistem “TST” alias “Tahu Sama Tahu”, atau “tidak saling mengganggu”. Bocoran di sektor perparkiran hanya salah satu contoh dari sekian banyak bocoran proyek yang biasa dinikmati oleh rekanan-rekanan Pemprov DKI bersama-sama dengan oknum-oknum di eksekutif, maupun legislatif, melalui berbagai proyek abal-abal dan anggaran-anggaran siluman.  Sudah bertahun-tahun kebiasaan tersebut sudah menjadi kelaziman kenikmatan bagi mereka. Namun kenikmatan-kenikmatan seperti itu, kini, satu per satu tinggal kenangan, sejak Ahok menjadi gubernur. Makin lama makin banyak rezeki-rezeki haram seperti itu habis ditutup Ahok, maka itu tak heran mereka pun semakin membenci Ahok. Jika Ahok dibiarkan terus menjadi gubernur DKI Jakarta, maka habis pula semua rezeki haram mereka itu, beralih menjadi pemasukan bagi Pemprov DKI Jakarta, yang kemudian akan disalurkan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Jakarta. Jika Ahok dibiarkan terus menjadi Gubernur DKI Jakarta, bisa-bisa perusahaan-perusahaan seperti Putraja itu bangkrut, maka itu tak heran Lulung sangat berkeptingingan untuk menyingkirkan Ahok dari kursi DKI 1 untuk selamanya. Mereka yang "senasib" dengan Lulung di DKI Jakarta itu tidak sedikit, yang selama ini sudah terbiasa meraih keuntungan besar melalui cara-cara yang tidak patut sebagaimana dipraktekkan Putraja Perkasa di TIM tersebut di atas, atau cara-cara lain atas "kebaikan hati" gubernur-gubernur sebelumnya yang terlalu toleran terhadap pelanggaran, atau malah bisa diajak "kerjasama" menggarap proyek-proyek besar tertentu. Oleh karena itulah Ahok semakin dibenci banyak orang,  karena di DKI jakarta orang-orang seperti Lulung itu banyak, maka musuh Ahok pun banyak. Kini, mereka bersatu-padu, dengan segala cara untuk menjatuhkan Ahok, sebelum ia berhasil memperpanjang masa jabatannya lewat pilkada DKI 2017 nanti

Selengkapnya : kompasiana

Komentar

  1. Mantap Pak Ahok putusin aja tuh kerjasamanya kalo merugikan DKI.
    Uangnya bs buat mensejahterakan rakyat DKI dr pd "Mubazir".

    BalasHapus
  2. Itu msh segelintir kejahatan di dki

    BalasHapus
  3. Itu msh segelintir kejahatan di dki

    BalasHapus
  4. Hayo haji lutung ..mana lu punya bacot bau pantat

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesabaraan pemuda batak sedang di uji ormas radikal, pemuda batak bersatu melawan perusak tatanan budaya batak.

Resmi!! Megawati Sudah Putuskan PDIP Dukung Ahok

Ketika Jokowi ‘Gila’ dan Ahok ‘Bajingan’, Skenario Singapura atas Indonesia Gagal